KERJASAMA BERBUAT JARIMAH
MAKALAH
Disusun guna
memenuhi tugas
Mata Kuliah : Fiqh Jinayah
Dosen Pengampu
: Drs. Rokhmadi, M.Ag
Disusun Oleh :
Muslikhatun
Nadiyah (132111126)
AHWAL
AS-SYAKHSHIYYAH (ASD3)
FAKULTAS
SYARI’AH
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2014
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Manusia adalah makhluk sosial, dimana mereka tidak
bisa hidup secara individu dan pasti membutuhkan bantuan dan peran orang lain. Sifat saling tergantung inilah yang
menghasilkan bentuk kerjasama tertentu yang bersifat tetap dan menghasilkan
bentuk masyarakat tertentu. Keberadaan manusia sebagai makhluk sosial tersebut
memiliki kepentingan-kepentingan yang terwujud dalam bentuk kerjasama bahkan
sebaliknya dapat menimbulkan pertentangan-pertentangan. Dimana sifat egoisme
mendorong mereka berada dalam sebuah pertentangan.
Tatanan
masyarakat pada umumnya telah diatur oleh sebuah undang-undang atau peraturan
yang menjadi pedoman dalam bertindak dan bertingkah laku yang terwujud dalam
perintah dan larangan.
Namun
demikian nampaknya perintah dan larangan saja tidak cukup untuk meninggalkan
perbuatan-perbuatan buruk, maka dari itu diperlukan adanya norma-norma seperti
norma agama, norma kesusilaan, norma kesopanan, dan juga norma hukum.
Adanya norma-norma yang mengatur dan membatasi kebebasan bersikap dan bertindak
individu pada masyarakat merupakan perwujudan perlindungan masyarakat pada
warganya dalam pergaulan hidup bersama.
Norma-norma ataupun aturan tersebut kemudian dikenal
dengan hukum, yaitu satuan ketentuan baik yang tertulis maupun yang tidak
tertulis yang mengatur tata tertib masyarakat sehingga bagi siapapun yang
melanggar tata tertib tersebut maka akan dijatuhi hukuman sebagaimana ketentuan
yang ada. Sebagaimana
diketahui bahwa kejahatan di dunia ini ada seiring dengan perkembangan manusia,
kehendak untuk berbuat jahat inheren dalam kehidupan manusia. Ada yang
dilakukan oleh antar seorang manusia dengan seorang manusia lainnya, antar
seorang dengan beberapa orang lainnya, atau bahkan dari beberapa orang terhadap
seorang individu lainnya, sebagaimana topik pembahasan yang akan dibahas dalam makalah ini.
B. Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas
dapat ditarik sebuah rumusan masalah sebagai berikut :
1. Apa pengertian dan dasar hukum
Kerjasama dalam berbuat Jarimah?
2. Bagaimana Perhatian Fuqaha terhadap
kerjasama dalam berbuat Jarimah?
3. Apa saja pelaksanaan bentuk-bentuk dan
macam-macam Kerjasama dalam berbuat Jarimah?
4. Pertalian
sebab akibat antara turut berbuat dengan jarimah?
5. Pertalian
antara perbuatan langsung dengan perbuatan tidak langsung (Mubasyarah dengan
sebab)?
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Pengertian
Kerjasama dalam Berbuat Jarimah
Kerjasama
dalam jarimah adalah perbuatan jarimah yang dilakukan secara bersama-sama ataupun
berserikat dan saling menghendaki dan sama-sama melakukan perbuatan pelaksanaan
peristiwa pidana tersebut.
Namun, perlu diketahui bahwa tindak pidana berserikat lebih ditekankan bahwa
kedua-duanya (si pelaku) merupakan pelaku utama.
Menurut
riwayat Daruquthni yang dikutip oleh Sjaukani, tindak pidana turut serta
berbuat, terdapat ketentuannya di dalam hadits yang bersumber kepada Ibnu
‘Umar, dimana Rasulullah telah berkata :”Jika seorang laki-laki telah memegang
laki-laki, lalu laki-laki lain membunuh laki-laki yang dipegang itu, maka
dibunuh yang melakukan pembunuhan dan dikurung yang melakukan pemegangan.
Demikian juga hadits yang diriwayatkan oleh Imam As-Syafi’I sebagaimana yang
dikutip oleh As-Syaukani yang mengetakan bahwasanya ’Ali r.a. telah menghukum
seorang laki-laki yang telah membunuh laki-laki dengan sengaja dan yang lainnya
memegangnya, maka beliau berkata dibunuh pembunuhnya, dan dikurung yang
belakangan di dalam penjara sehingga ia mati.
2.
Perhatian Fuqaha terhadap kerjasama
dalam berbuat jarimah
Kerjasama
dalam berbuat jarimah adakalanya dilakukan secara langsung dan tidak langsung
oleh pelaku jarimah. Disini, para fuqaha hanya membicarakan hukum keduanya.
Boleh jadi, hal ini disebabkan karena menurut aturan syari’at islam, hukuman
yang telah ditentukan hanya dijatuhkan atas orang yang turut berbuat dengan
langsung, bukan atas orang yang turut berbuat tidak langsung dan aturan
tersebut diterapkan dengan teliti sekali oleh Imam Abu Hanifah.
Akan
tetapi fuqaha selainnya mengecualikan jarimah pembunuhan dan penganiayaan dan
ketentuan aturan umum tersebut yakni untuk kedua macam jarimah ini, baik
pembuat langsung ataupun pembuat tidak langsung dijatuhi hukuman. Alasannya
karena kedua jarimah tersebut bisa dikerjakan dengan langsung dan tidak
langsung, sesuai dengan sifat-sifat jarimah itu. Kalau kita berpegangan
seluruhnya dengan aturan tersebut, maka akibatnya hanya pembuat tidak langsung
yang terhindar dari hukuman, sedang ia sebenarnya turut serta melaksanakan
jarimah tersebut seperti pembuat langsung juga.
Jadi,
berdasarkan aturan tersebut di atas, pembuat tidak langsung (peminjam tangan
atau orang yang menghasut umpamanya) apabila turut melakukan jarimah yang
diancamkan hukuman tertentu (tidak ada batas terendah atau batas tertinggi),
maka tidak dikenakan dengan hukuman itu sendiri, sebab hukuman tersebut hanya
diancamkan pada pembuat langsung saja.
Dengan perkataan lain, turut berbuat tidak langsung termasuk jarimah ta’zir,
baik perbuatan yang dikerjakannya itu termasuk jarimah hudud, qishas atau diat.
Dari sini,
kita dapat memahami, mengapa para fuqaha tidak membicarakan secara khusus
terhadap soal turut berbuat tidak langsung, sebab perbuatan tersebut tidak
termasuk jarimah hudud-qishas, yaitu jarimah yang mendapat perhatian utama dari
para fuqaha.
3.
Bentuk
dan Macam-macam Turut serta melakukan jarimah
3.1. Bentuk turut serta Jarimah
Suatu jarimah adakalanya dilakukan
oleh satu orang dan adakalanya dilakukan oleh lebih dari satu orang. Apabila
orang bersama-sama melakukan suatu jarimah maka perbuatannya itu disebut turut
berbuat jarimah atau Al-Isytirak.
Dalam kerjasama berbuat jarimah, terdapat
empat kategori
bentuk kerjasama yaitu
sebagai berikut:
a.
Pelaku turut melakukan tindak pidana,
yaitu pelaku ikut andil melakukan unsur material tindak pidana bersama orang
lain
b. Pelaku mengadakan kesepakatan dengan
orang lain untuk melakukan jarimah.
c. Pelaku menghasut ( menyuruh orang
lain untuk melakukan jarimah).
d. Pelaku memberi bantuan atau kesepakatan
untuk dilakukannya jarimah dengan berbagai cara tanpa turut berbuat.
3.2. Macam-macam Turut
serta Jarimah
Turut serta melakukan jarimah itu ada dua macam:
1).
Turut serta langsung (الإشتراك المبا شر),
sedangkan orang yang turut serta disebut peserta langsung (الش ك المبا شر).
Turut
serta secara langsung
terjadi apabila orang-orang yang melakukan jarimah dengan nyata. Pengertian
melakukan jarimah dengan nyata disini adalah bahwa setiap orang yang turut
serta itu masing-masing mengambil bagian secara langsung, walaupun tidak sampai
selesai. Jadi, cukup dianggap sebagai turut peserta langsung apabila seseorang
telah melakukan suatu perbuatan yang dipandang sebagai permulaan pelaksanaan
jarimah itu. Misalnya: dua orang (Adan B) akan membunuh seseorang ( C ). Si A
sudah memukul tengkuk dengan sepotong kayu kemudian pergi, sedangkan B yang
meneruskan sampai akhirnya C mati. Dalam contoh ini A tidak turut menyelesaikan
jarimah tersebut, tetapi ia telah melakukan perbuatan yang merupakan permulaan
pelaksanaan tindak pidana pembunuhan. Disini si A dianggap sebagai orang yang
turut serta secara langsung (As-Syarik Al
Mubasyir).
Di samping
itu, adakalanya perbuatan turut serta secara langsung ini dapat terjadi,
manakala seseorang melakukan suatu perbuatan yang dipandang sebagai permulaan
pelaksanaan jarimah yang sudah cukup disifati sebagai maksiat. Disini
adakalanya perbuatan permulaan jarimah tersebut adalah :
a).
Apabila pelaku langsung hanya menjadi kaki tangan atau alat semata-mata bagi
pelaku tidak langsung. Misalnya, apabila seseorang memerintahkan anak di bawah
umur untuk membunuh orang lain, kemudian perintahnya itu dilaksanakannya, maka
orang yang memerintahkan itu juga dianggap sebagai pelaku langsung. Akan tetapi
Abu Hanifah berpendapat bahwa perbuatan semacam ini tidak disebut sebagai
pelaku langsung, kecuali apabila perintahnya itu merupakan paksaan bagi orang
yang melaksanakannya.
b). Turut serta secara langsung
adakalanya dilakukan secara kebetulan saja, adakalanya direncanakan terlebih
dahulu. Kalau kerja sama itu dilakukan secara kebetulan maka disebut tawafuq, sedangkan kerja sama yang
direncanakan terlebih dahulu disebut tamalu’.
Dalam hal
ini ada perbedaan pendapat dari para fuqaha ketika memutuskan
pertanggungjawaban antara tawafuq dan
tamalu’, yaitu sebagai berikut :
a). menurut jumhur ulama.
Tawafuq
: pertanggunjawaban dikenai pada masing-masing peserta atas perbuatan yang
dilakukan sendiri, dan tidak bertanggung jawab akan perbuatan yang dilakukan
orang lain.
Tamalu’
: pertanggungjawaban dilakukan secara bersama-sama dengan catatan korban dianiaya
sampai mati.
b). menurut Imam Hanifah dan Fuqaha Syafi’iyyah.
Keduanya tidak ada perbedaan dalam hal pertanggungjawaban
karena masing-masing peserta hanya bertanggungjawab atas perbuatannya
sendiri-sendiri dan tidak bertnaggung jawab atas perbuatan keseluruhan.
Dalam
hukum pidana Indonesia turut serta melakukan kejahatan ini diatur dalam Bab 5
Pasal 55 sampai dengan Pasal 62 KUH Pidana. Dalam Pasal 55 antara lain
disebutkan :
(1) Dipidana sebagai pembuat suatu
pidana.
Pertama : orang yang melakukan, menyuruh
melakukan, atau turut melakukan perbuatan itu;
Kedua : orang yang dengan pemberian upah,
perjanjaian, salah memakai kekuasaan atau martabat, memakai paksaan atau
ancaman atau tipu daya, atau denga member kesempatan, iktikad atau keterangan,
dengan sengaja menghasut supaya perbuatan itu dilakukan.
(2) Adapun tentang orang yang tersebut
dalam sub 2 itu, yang boleh dipertanggungjawabkan kepadanya hanyalah perbuatan
yang sengaja dibujuk olehnya serta akibat perbuatan itu.
2). Turut serta secara tidak langsung (الإشتراك بالتٌسبب),
orang yang turut serta disebut peserta tidak langsung atau sebab (الشٌرك المتسبٌب).
Turut berbuat
tidak langsung adalah setiap orang yang menagdakan perjanjian dengan orang lain
untuk melakukan suatu perbuatan yang dapat dihukum, menyuruh (menghasut) orang
lain atau memberikan bantuan dalam perbuatan tersebut dengan disertai
kesenjangan.
Dari keterangan tersebut kita
mengetahui bahwa unsur-unsur turut tidak langsung itu ada tiga macam, yaitu:
a.
adanya
perbuatan yang dapat dihukum
b.
adanya
niat dari orang yang turut berbuat, agar dengan sikapnya itu perbuatan tersebut
dapat terjadi
c.
cara mewujudkan perbuatan tersebut
adalah dengan mengadakan persepakatan, menyuruh, atau memberi bantuan.
Cara
mewujudkan turut berbuat tidak langsung yaitu dengan cara :
1.
Persepakatan, terjadi karena adanya
saling pengertian dan kesamaan kehendak untuk melakukan keadaan jarimah. Jadi,
jarimah yang terjadi harus merupakam akibat dari persepakatan itu, dan apabila
tidak ada kesepakatan sebelumnya, maka tidak ada turut berbuat jarimah.
Contohnya, jika seseorang
bersepakat dengan orang lain untuk mencuri kambing, kemudian pembuat langsung
memukul pemilik kambing, atau mencuri kambing bukan milik orang yang dituju,
maka disini tidak ada persepakatan atas jarimah yang terjadi. Akan tetapi tidak
adanya turut berbuat berarti bahwa persepakatan itu tidak dihukum, sebab
persepakatan itu sendiri sudah merupakan perbuatn maksiat.
2.
Suruhan atau hasutan, maksudnya
menyuruh atau menghasut orang lain untuk melakukan suatu jarimah dan bujukan
itu menjadi pendorong untuk dilakukannya jarimah itu. Baik sebuah bujukan itu
berpengaruh atau tidak terhadap adanya jarimah, namun bujukan itu sendiri
adalah suatu maksiat yang bisa dijatuhi hukuman.
3.
Memberi bantuan, maksudnya orang
yang memberi bantuan kepada orang lain dalam melaksanakan suatu jarimah
dianggap sebagai kawan berbuat tidak langsung, meskipun tidak ada persepakatan
sebelumnya, seperti mengamat-amati
jalan untuk memudahkan pencurian bagi orang lain. Perbedaan antara memberi
bantuan dengan pembuat asli ialah kalau pembuat asli (Mubasyir) adalah orang
yang memperbuat atau mencoba memperbuat pekerjaan yang dilarang; maka memberi
bantuan tidak berbuat atau mencoba berbuat melainkan hanya menolong pembuat
asli dengan perbuatan-perbuatan yang tidak ada sangkut pautnya dengan
perbuatan-perbuatan yang dilarang ataupun sebagai pelaksanaan terhadap
perbuatan tersebut.
Hukuman pelaku tidak langsung:
Pada
dasarnya menurut syariat islam, hukuman-hukuman yang telah ditetapkan jumlahnya
dalam jarimah hudud dan qishash hanya dijatuhkan atas pelaku langsung, bukan
atas peserta tidak langsung. Dengan demikian, orang yang turut berbuat tidak
langsung dalam jarimah hanya dijatuhkan hukuman ta’zir. Namun apabila perbuatan
tidak langsung itu dipandang sebagai pembuat langsung, karena pelaku langsung
hanya sebagai alat semata-mata yang digerakkan oleh pelaku tidak langsung maka
pelaku tidak langsung tersebut bisa dijatuhi hukuman had atau qishash.
Menurut
Imam Malik, penjatuhan hukuman terhadap pelaku tidak langsung, bagaimanapun
caranya, dia tetap dianggap sebagai pembuat langsung, apabila ia menyaksikan
terjadinya jarimah, dan apabila pembuat asli tidak sanggup melaksanakan, maka
dia sendiri (pelaku tidak langsung) yang akan melaksanakan, atau bekerjasama
dengan orang lain.
Namun
disini, hukuman pelaku tidak langsung adakalany aberpengaruh atau tidak
berpengaruh oleh keadaan diri dan perbuatan pembuatan langsung,seperti halnya
dari pendapat Imam Malik yang tersebut di atas. hal ini dilihat dari segi
perbuatan, apabila perbuatan pembuat langsung sesuai dengan yang dimaksud oleh
pelaku tidak lansgung, dan perbuatan itu berupa jarimah ta’zir, hudud atau
qishas, maka masing-masing menerima hukumannya seperti yang dibicarakan di
atas.
Dari segi
keadaan pembuat asli, maka apabila hukuman menjadi hapus, diberatkan atau
diringankan, maka keadaan ini tidak berpengaruh pada pembuat tidak langsung,
karena perbuatan tersebut hanya didasarkan atas keadaan pembuat langsung
sendiri, seperti halnya anak-anak dibawah umur dengan orang dewasa, atau antara
orang yang bisa memperbuat jarimah (pengulang jarimah) dengan pembuat tidak
langsung yang belum pernah melakukan jarimah.
Dari
sini lebih ditekankan bahwa keadaan pembuat tidak langsung hanya berpengaruh
pada dirinya sendiri, dan tidak berpengaruh pada hukuman pembuat langsung,
seperti kalau pembuat pertama tersebut masih di bawah umur atau gila dan
sebagainya.
4. Pertalian sebab akibat antara turut berbuat
dengan jarimah.
Turut berbuat
baru dianggap ada apabila benar-benar ada pertalian sebab akibat dengan jarimah
yang terjadi. Kalau bentuk turut berbuat berupa persepakatan, maka jarimah yang
terjadi harus merupakan akibat persepakatan tersebut begitupun pada cara-cara berbuat lainnya.
Jika seseorang
karena tipu muslihatnya membawa orang lain pergi kepada suatu tempat tertentu,
agar di tempat itu orang ketiga dapat membunuhnya. Akan tetapi orang ketiga
tersebut tidak muncul di tempat yang telah ditentukan itu, kemudian rang
pertama membiarkan orang kedua pulang ke rumahnya, setelah orang ketiga
mengetahui apa yang terjadi, ia kemudian pergi ke rumah orang kedua dan di
rumahnya ini, orang kedua dibunuh oleh orang ketiga. Dalam contoh ini, orang
pertama tidak dianggap sebagai kawan berbuat atau pemberi bantuan, karena tidak
ada pertalian sebab-akibat antara perbuatannya dengan jarimah yang terjadi,
meskipun dengan kualifikasi lain orang pertama tersebut dapat dijatuhi hukuman.
Dalam hal ini terdapat bentuk-bentuk
pertalian sebab akibat sebagai berikut :
1). Turut berbuat langsung dengan
cara tidak berbuat
Bentuk seperti
ini merupakan persepakatan dan hasutan atau perbuatan-perbuatan yang nyata
(positif). Akan tetapi memberikan bantuan tidak langsung memang pada hakikatnya
berupa sikap tidak berbuat, contohnya : orang yang melihat segerombolan
penjahat yang membunuh orang lain, kemudian dia (orang yang melihat) diam saja.
Menurut
kebanyakan fuqaha, sikap diam semacam ini tidak dianggap atau bahkan sama
sekali tidak dianggap sebagai memberikan bantuan kepada pembuat jarimah.
Meskipun dianggap bantuan dari segi akhlak (moril) namun tidak bisa dianggap
bantuan atau perbuatan tidak langsung kepada jarimah dari segi kepidanaan,
sebab pemberian bantuan yang dapat dihukum ialah yang berdasarkan atas saling
mengerti antara pemberi bantuan dengan pembuat lansung dan memang jarimah yang
terjadi dikehendaki oleh pemberi bantuan.
2). Turut Berbuat
”Sadar-Kemungkinan-Akibat”
Kawan berbuat
harus mempertanggung jawabkan pula terhadap jarimah yang diperbuat oleh si
pembuat asli, meskipun jarimah itu lebih besar daripada yang dimaksud oleh
kawan berbuat tersebut selama jarimah itu dapat terjadi sebagai suatu akibat
yang mungkin bisa terjadi dari berbuatnya dan dari pelaksanaan jarimah
tersebut.
Jika seseorang
menyuruh orang lain untuk memukul orang ketiga dengan pukulan biasa akan tetapi
orang lain tersebut memukulnya sedemikian kuatnya sehingga berakibat kematian,
maka orang pertama sebagai kawan berbuat, tidak saja bertanggung jawab atas
pemukulan tersebut, tetapi juga atas kematian semi-sengaja, karena kematian
korban adalah suatu hal yang mungkin bisa terjadi dalam melaksanakan jarimah
pemukulan.
5.
Pertalian antara perbuatan langsung dengan perbuatan tidak langsung (Mubasyarah
dengan sebab).
Apabila perbuatan langsung berkumpul
dengan perbuatan tidak langsung dalam suatu tindak pidana maka pertalian antara
keduanya ada tiga kemungkinan :
1). Perbuatan tidak langsung lebih
kuat daripada perbuatan langsung.
Hal ini terjadi apabila perbuatan
langsung bukan perbuatan yang berlawanan dengan hukum, seperti persaksian palsu
yang mengakibatkan adnya adanya putusan hakim untuk menjatuhkan hukuman mati
atas diri tersangka. Dalam kasus ini persaksian palsu adalah perbuatan tidak
langsung.
2). Perbuatan langsung lebih kuat
daripada perbuatan tidak langsung.
Hal ini terjadi apabila perbuatan
langsung dapat memeutus daya kerja perbuatan tidak langsung dan perbuatan tidak
langsung itu sendiri tidak mengharuskan menimbulkan akibat yang terjadi,
seperti orang yang menjatuhkan orang lain ke dalam jurang, kemudian datang
orang ketiga yang membunuh orang dalam jurang tersebut.
3). Kedua
perbuatan tersebut seimbang.
Hal ini terjadi apabila daya kerjanya
sama kuatnya, seperti orang yang memaksa orang lain untuk mekakukan pembunuhan.
Dalam soal ini, pemaksa itulah yang menggerakkan pembuat langsung melakuka
jarimah, sebab kalau sekiranya tidak ada pemaksa tentunya orang kedua tidak
berbuat, tetapi juga kalau sekiranya tidak ada orang kedua, belum tentu paksaan
orang pertama akan menimbulkan pembunuhan tersebut.
Akan tetapi dalam penerapan
pembedaan-pembedaan tersebut terdapat perbedaan pendapat di kalangan fuqaha,
seperti ada orang yang menahan orang lain (orang kedua) agar bisa dibunuh oleh
orang ketiga.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berikut empat
kategori bentuk kerjasama pidana (jarimah):
a.
Pelaku turut melakukan tindak pidana,
yaitu pelaku ikut andil melakukan unsur material tindak pidana bersama orang
lain
b.
Pelaku
mengadakan kesepakatan dengan orang lain untuk melakukan jarimah.
c.
Pelaku
menghasut ( menyuruh orang lain untuk melakukan jarimah).
d.
Pelaku memberi bantuan atau kesepakatan untuk dilakukannya jarimah
dengan berbagai cara tanpa turut berbuat
Sedangkan turut berbuat langsung
dalam jarimah dibagi menjadi :
1.
Turut
serta langsung,
sedangkan orang yang turut serta disebut peserta langsung.
2.
Turut
serta secara tidak langsung, orang yang turut serta disebut peserta tidak
langsung atau sebab.
Sedangkan
mengenai hukuman antara turut berbuat langsung dan turut berbuat tidak
langsung, dalam hal ini ulama berbeda pendapat. Misalnya saja dalam perbuatan
turut berbuat langsung dengan melakukan pembunuhan, dalam hal ini menurut
jumhur fuqaha yang terdiri dari Imam Malik, Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’I,
Imam Malik At-Tsauri, Imam Ahmad, dan Abu Tsaur, apabila beberapa orang
membunuh satu orang, maka mereka harus dibunuh semuanya. Pendapat ini merupakan
pendapat Umar R.A. diriwayatkan dari Sayyidina Umar r.a. bahwa beliau pernah
mengatakan bahwa :
لَوْ تَمَا لَآ عليه أ هْلَ صَنْعَا
ءِ لَقَتَلْتَهُمْ جَمِيْعًا
Andaikan penduduk Shan’an bersepakat
membunuhnya, maka saya akan membunuh mereka semuanya.
Sedangkan
menurut imam Daud Az-Zahiri, apabila beberapa orang membunuh satu orang, maka
yang dihukum bunuh (Qishash) hanyalah seorang saja. Pendapat ini merupakan
pendapat Ibn Zubeir, Imam Zuhri dan Imam Jabir.
Lain
halnya dengan turut berbuat tidak langsung, hukumannya hanya dijatuhi hukuman
ta’zir. Meskipun juga ada fuqaha yang berbeda pendapat menegnai hukuman berbuat
tidak langsung, apabila kasus jarimah yang dilakukan dengan turut berbuat tidak
langsung tersebut sebagai pelaku langsung
hanya sebagai alat semata-mata yang digerakkan oleh pelaku tidak
langsung, maka dijatuhi hukuman had atau qishash.
Sedangkan apabila perbuatan langsung
berkumpul dengan perbuatan tidak langsung dalam suatu tindak pidana maka
pertalian antara keduanya ada tiga kemungkinan :
1). Perbuatan tidak langsung lebih
kuat daripada perbuatan langsung.
Hal ini terjadi apabila perbuatan
langsung bukan perbuatan yang berlawanan dengan hukum, seperti persaksian palsu
yang mengakibatkan adnya adanya putusan hakim untuk menjatuhkan hukuman mati
atas diri tersangka. Dalam kasus ini persaksian palsu adalah perbuatan tidak
langsung.
2). Perbuatan langsung lebih kuat
daripada perbuatan tidak langsung.
Hal ini terjadi apabila perbuatan
langsung dapat memeutus daya kerja perbuatan tidak langsung dan perbuatan tidak
langsung itu sendiri tidak mengharuskan menimbulkan akibat yang terjadi,
seperti orang yang menjatuhkan orang lain ke dalam jurang, kemudian datang
orang ketiga yang membunuh orang dalam jurang tersebut.
3).
Kedua perbuatan tersebut seimbang.
Hal ini terjadi
apabila daya kerjanya sama kuatnya, seperti orang yang memaksa orang lain untuk
mekakukan pembunuhan.
B. Penutup
Demikianlah makalah yang dapat saya buat, dan saya sadar dalam penyusunan makalah ini pasti
terdapat banyak kesalahan baik dari segi penulisan maupun segi penyajiannya,
dan juga sangat minimnya referensi yang saya cantumkan. Untuk itu, kritik dan saran yang
konstruktif sangat saya harapkan guna memperbaiki makalah-makalah saya selanjutnya. Dan semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua. Amiin.
DAFTAR PUSTAKA
Jamhari Makruf dan
Lindsey, Hukum keluarga, Pidana dan
Bisnis, (Kajian Perundang-undangan Indonesia, Fikih dan Hukum Internasional),
Jakarta : Kencana, cet. 1 2013.
Jamhari
Makruf dan Lindsey, Hukum keluarga,
Pidana dan Bisnis, (Kajian Perundang-undangan Indonesia, Fikih dan Hukum
Internasional), Jakarta : Kencana, cet. 1 2013, hal. 122
Jamhari
Makruf dan Lindsey, Hukum keluarga,
Pidana dan Bisnis, (Kajian Perundang-undangan Indonesia, Fikih dan Hukum
Internasional), Jakarta : Kencana, cet. 1 2013, hal. 122