Selasa, 08 Desember 2015

Izinkan Aku Mencintaimu Sampai Halal

Izinkan Aku Mencintaimu Sampai Halal

Tiada sebait pusi yang bisa ku rangkai untukmu karena aku bukanlah seorang sastrawan
Dan tak ada pula serangkain bunga ataupun lilin berhjajar yang membentuk kata "love", karena aku bukanlah seoranf melankolis
Namun aku punya hati yang tak bisa kutafsirkan seberapa dalamnya rasa ini tumbuh
Aku juga tidak bisa menjadi seseorang yang sempurna, karena aku hanyalah manusia biasa

Tapi bolehkah aku mencintaimu sampai hala?
Itu pintaku, atau ta'arufan saja denganku?
Atau paling tidak izinkan aku mengagumimu saja tanpa harus memilikimu
Namun aku harus bergegas sadar karena memilikimu hanyalah mimpi buatku

Aku memang tak punya apa-apa
Aku juga berasal dari keluarga sederhana
Bahkan aku tak bisa menyamai kedudukanmu
Aku juga tak punya paras menawan
Tapi aku punya hati
Yang tak bisa kau tentang

Aku memang menginginkan hatimu bersanding denganku
Tapi mungkinkah?
Memandangimu saja dari kejauhan membuatku terdiam
Namun jikalau hal itu hadir meski dalam mimpiku aku tak ingin terbangun
Mungkin kau mengira aku bodoh
Tapi aku akan mengakuinya

Karena sebelumnya tak pernah kurasakan rasa seperti ini di hati

Tapi jikalau kau bertanya tentang ketulusan
Aku akan menjawab dengan "tidak"
Karena aku tak bisa mengukur dan melihat ketulusan itu
Namun aku punya keyakinan yang membuatku bertahan untuk selalu mencintaimu
Meski aku tak bisa memilikimu
Namun, sekali lagi "Izinkan aku mencintaimu sampai halal"

Tapi jikalau kelak kau bersanding dengan orang lain
Aku tak akan membencimu
 Dan akan kukatakan " Aku Bahagia Pernah Mencintaimu Meski Belum Sampai Halal"
Dan aku akan hidup dengan cara ku sendiri
Mencintai calon imamku yang masih disimpan rapi oleh Allah


By : Muslikhatun Nadia

Senin, 17 Agustus 2015



DESA TAK TERJAMAI

Asri nan berseri
Dengan  hamparan ladang  yang subur menghijau
Gunung-gunung yang nampak berawan
Embun yang tak mau mengering
Udara yang masih suci tak terusik raungan kereta besi

Desa tak terjamai ku menyebutnya
Perjalananku dibuat berdecak kagum
bergetar hati tiap ku langkahkan kaki
menangis dalam hati tiap bersapa warga
keramahan dan keuletan menjadi ciri khasnya

Sejenak ku berdiam merenung
Menghadap hamparan ladang
Mecoba menyatu dengan alam
namun debu sedikit menyambar menyapu wajahku
Hingga ku terperanjat dalam lamunanku

Sabtu, 09 Mei 2015

Jeritan Hati

JERITAN HATI YANG TERPENDAM


“Kangen” itulah satu kata yang ingin ku sampaikan pada mereka
Namun, dibalik itu masih ada kata yang tersembunyi
“Sedih” itulah kata yang juga menyelimutiku
Entah mengapa dua kata itu tiba-tiba muncul dalam benakku


Dan seketika itu pula kuingat perjalanan panjang yang penuh ceria
Tapi tak sedikitpun aku ikut merasakannya
Aku seolah  membisu dan tak bergeming sedikitpun
Yang membuatku merasakan sakit yang tersayat-sayat


Bukan karena aku tak berucap
Tapi aku seperti dianggap angin yang sekedar berhembus
Mengikuti arah hembusan itu
Dan menganga seperti mulut gua yang tak satupun orang berani memasukinya


Bahkan mataku sontak hanya melihat satu pohon tanpa daun dijajaran pohon berdaun lebat
Yang mengering dan layu
Ah, aku menggerutu dalam diam
Mungkin ini hanya halusinasiku


Namun, tiba-tiba air mataku menetes perlahan
Lalu cepat kuusap agar tidak ada yang melihat kerapuhanku
Aku sedikit tersadar ketika ada seorang teman menepuk bahuku
Sontak aku menjerit dan semua menoleh kepadaku


Tapi apa yang kudapat
Tak kudengar satupun dari mereka yang bartanya “kenapa”
lalu aku kembali menangis dalam diamku
kemudian memeluk cahaya yang tersisa dalam diriku

Selasa, 21 April 2015

Kerjasama Berbuat Jarimah

KERJASAMA BERBUAT JARIMAH
MAKALAH
Disusun guna memenuhi tugas
Mata Kuliah : Fiqh Jinayah
Dosen Pengampu : Drs. Rokhmadi, M.Ag
Disusun Oleh :
Muslikhatun Nadiyah      (132111126)
AHWAL AS-SYAKHSHIYYAH (ASD3)
FAKULTAS SYARI’AH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2014
BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Manusia adalah makhluk sosial, dimana mereka tidak bisa hidup secara individu dan pasti membutuhkan bantuan dan peran orang lain. Sifat saling tergantung inilah yang menghasilkan bentuk kerjasama tertentu yang bersifat tetap dan menghasilkan bentuk masyarakat tertentu. Keberadaan manusia sebagai makhluk sosial tersebut memiliki kepentingan-kepentingan yang terwujud dalam bentuk kerjasama bahkan sebaliknya dapat menimbulkan pertentangan-pertentangan. Dimana sifat egoisme mendorong mereka berada dalam sebuah pertentangan.
Tatanan masyarakat pada umumnya telah diatur oleh sebuah undang-undang atau peraturan yang menjadi pedoman dalam bertindak dan bertingkah laku yang terwujud dalam perintah dan larangan.
Namun demikian nampaknya perintah dan larangan saja tidak cukup untuk meninggalkan perbuatan-perbuatan buruk, maka dari itu diperlukan adanya norma-norma seperti norma agama, norma kesusilaan, norma kesopanan, dan juga norma hukum.
Adanya norma-norma yang mengatur dan membatasi kebebasan bersikap dan bertindak individu pada masyarakat merupakan perwujudan perlindungan masyarakat pada warganya dalam pergaulan hidup bersama.
Norma-norma ataupun aturan tersebut kemudian dikenal dengan hukum, yaitu satuan ketentuan baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis yang mengatur tata tertib masyarakat sehingga bagi siapapun yang melanggar tata tertib tersebut maka akan dijatuhi hukuman sebagaimana ketentuan yang ada. Sebagaimana diketahui bahwa kejahatan di dunia ini ada seiring dengan perkembangan manusia, kehendak untuk berbuat jahat inheren dalam kehidupan manusia. Ada yang dilakukan oleh antar seorang manusia dengan seorang manusia lainnya, antar seorang dengan beberapa orang lainnya, atau bahkan dari beberapa orang terhadap seorang individu lainnya, sebagaimana topik pembahasan yang akan dibahas dalam makalah ini.

B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas dapat ditarik sebuah rumusan masalah sebagai berikut :
1.      Apa pengertian dan dasar hukum Kerjasama dalam berbuat Jarimah?
2.      Bagaimana Perhatian Fuqaha terhadap kerjasama dalam berbuat Jarimah?
3.      Apa saja pelaksanaan bentuk-bentuk dan macam-macam Kerjasama dalam berbuat Jarimah?
4.      Pertalian sebab akibat antara turut berbuat dengan jarimah?
5.      Pertalian antara perbuatan langsung dengan perbuatan tidak langsung (Mubasyarah dengan sebab)?


BAB II
PEMBAHASAN
1.      Pengertian Kerjasama dalam Berbuat Jarimah
Kerjasama dalam jarimah adalah perbuatan jarimah yang dilakukan secara bersama-sama ataupun berserikat dan saling menghendaki dan sama-sama melakukan perbuatan pelaksanaan peristiwa pidana tersebut.[1] Namun, perlu diketahui bahwa tindak pidana berserikat lebih ditekankan bahwa kedua-duanya (si pelaku) merupakan pelaku utama.[2]
Menurut riwayat Daruquthni yang dikutip oleh Sjaukani, tindak pidana turut serta berbuat, terdapat ketentuannya di dalam hadits yang bersumber kepada Ibnu ‘Umar, dimana Rasulullah telah berkata :”Jika seorang laki-laki telah memegang laki-laki, lalu laki-laki lain membunuh laki-laki yang dipegang itu, maka dibunuh yang melakukan pembunuhan dan dikurung yang melakukan pemegangan. Demikian juga hadits yang diriwayatkan oleh Imam As-Syafi’I sebagaimana yang dikutip oleh As-Syaukani yang mengetakan bahwasanya ’Ali r.a. telah menghukum seorang laki-laki yang telah membunuh laki-laki dengan sengaja dan yang lainnya memegangnya, maka beliau berkata dibunuh pembunuhnya, dan dikurung yang belakangan di dalam penjara sehingga ia mati.[3]
2.      Perhatian Fuqaha terhadap kerjasama dalam berbuat jarimah
Kerjasama dalam berbuat jarimah adakalanya dilakukan secara langsung dan tidak langsung oleh pelaku jarimah. Disini, para fuqaha hanya membicarakan hukum keduanya. Boleh jadi, hal ini disebabkan karena menurut aturan syari’at islam, hukuman yang telah ditentukan hanya dijatuhkan atas orang yang turut berbuat dengan langsung, bukan atas orang yang turut berbuat tidak langsung dan aturan tersebut diterapkan dengan teliti sekali oleh Imam Abu Hanifah.[4]
Akan tetapi fuqaha selainnya mengecualikan jarimah pembunuhan dan penganiayaan dan ketentuan aturan umum tersebut yakni untuk kedua macam jarimah ini, baik pembuat langsung ataupun pembuat tidak langsung dijatuhi hukuman. Alasannya karena kedua jarimah tersebut bisa dikerjakan dengan langsung dan tidak langsung, sesuai dengan sifat-sifat jarimah itu. Kalau kita berpegangan seluruhnya dengan aturan tersebut, maka akibatnya hanya pembuat tidak langsung yang terhindar dari hukuman, sedang ia sebenarnya turut serta melaksanakan jarimah tersebut seperti pembuat langsung juga.
Jadi, berdasarkan aturan tersebut di atas, pembuat tidak langsung (peminjam tangan atau orang yang menghasut umpamanya) apabila turut melakukan jarimah yang diancamkan hukuman tertentu (tidak ada batas terendah atau batas tertinggi), maka tidak dikenakan dengan hukuman itu sendiri, sebab hukuman tersebut hanya diancamkan pada pembuat langsung saja.[5] Dengan perkataan lain, turut berbuat tidak langsung termasuk jarimah ta’zir, baik perbuatan yang dikerjakannya itu termasuk jarimah hudud, qishas atau diat.
Dari sini, kita dapat memahami, mengapa para fuqaha tidak membicarakan secara khusus terhadap soal turut berbuat tidak langsung, sebab perbuatan tersebut tidak termasuk jarimah hudud-qishas, yaitu jarimah yang mendapat perhatian utama dari para fuqaha.[6]
3.      Bentuk dan Macam-macam Turut serta melakukan jarimah
3.1. Bentuk turut serta Jarimah
Suatu jarimah adakalanya dilakukan oleh satu orang dan adakalanya dilakukan oleh lebih dari satu orang. Apabila orang bersama-sama melakukan suatu jarimah maka perbuatannya itu disebut turut berbuat jarimah atau Al-Isytirak.
Dalam kerjasama berbuat jarimah, terdapat empat kategori bentuk kerjasama yaitu sebagai berikut:
a.       Pelaku turut melakukan tindak pidana, yaitu pelaku ikut andil melakukan unsur material tindak pidana bersama orang lain
b.      Pelaku mengadakan kesepakatan dengan orang lain untuk melakukan jarimah.
c.       Pelaku menghasut ( menyuruh orang lain untuk melakukan jarimah).
d.      Pelaku memberi bantuan atau kesepakatan untuk dilakukannya jarimah dengan berbagai cara tanpa turut berbuat.[7]
3.2. Macam-macam Turut serta Jarimah
Turut serta melakukan jarimah itu ada dua macam:[8]
1). Turut serta langsung (الإشتراك المبا شر), sedangkan orang yang turut serta disebut peserta langsung (الش ك المبا شر).
Turut serta secara langsung[9] terjadi apabila orang-orang yang melakukan jarimah dengan nyata. Pengertian melakukan jarimah dengan nyata disini adalah bahwa setiap orang yang turut serta itu masing-masing mengambil bagian secara langsung, walaupun tidak sampai selesai. Jadi, cukup dianggap sebagai turut peserta langsung apabila seseorang telah melakukan suatu perbuatan yang dipandang sebagai permulaan pelaksanaan jarimah itu. Misalnya: dua orang (Adan B) akan membunuh seseorang ( C ). Si A sudah memukul tengkuk dengan sepotong kayu kemudian pergi, sedangkan B yang meneruskan sampai akhirnya C mati. Dalam contoh ini A tidak turut menyelesaikan jarimah tersebut, tetapi ia telah melakukan perbuatan yang merupakan permulaan pelaksanaan tindak pidana pembunuhan. Disini si A dianggap sebagai orang yang turut serta secara langsung (As-Syarik Al Mubasyir).
Di samping itu, adakalanya perbuatan turut serta secara langsung ini dapat terjadi, manakala seseorang melakukan suatu perbuatan yang dipandang sebagai permulaan pelaksanaan jarimah yang sudah cukup disifati sebagai maksiat. Disini adakalanya perbuatan permulaan jarimah tersebut adalah :[10]
a). Apabila pelaku langsung hanya menjadi kaki tangan atau alat semata-mata bagi pelaku tidak langsung. Misalnya, apabila seseorang memerintahkan anak di bawah umur untuk membunuh orang lain, kemudian perintahnya itu dilaksanakannya, maka orang yang memerintahkan itu juga dianggap sebagai pelaku langsung. Akan tetapi Abu Hanifah berpendapat bahwa perbuatan semacam ini tidak disebut sebagai pelaku langsung, kecuali apabila perintahnya itu merupakan paksaan bagi orang yang melaksanakannya.
b). Turut serta secara langsung adakalanya dilakukan secara kebetulan saja, adakalanya direncanakan terlebih dahulu. Kalau kerja sama itu dilakukan secara kebetulan maka disebut tawafuq, sedangkan kerja sama yang direncanakan terlebih dahulu disebut tamalu’.
Dalam hal ini ada perbedaan pendapat dari para fuqaha ketika memutuskan pertanggungjawaban antara tawafuq dan tamalu’, yaitu sebagai berikut :[11]
a). menurut jumhur ulama.
Tawafuq : pertanggunjawaban dikenai pada masing-masing peserta atas perbuatan yang dilakukan sendiri, dan tidak bertanggung jawab akan perbuatan yang dilakukan orang lain.
Tamalu’ : pertanggungjawaban dilakukan secara bersama-sama dengan catatan korban dianiaya sampai mati.
b). menurut Imam Hanifah dan Fuqaha Syafi’iyyah.
Keduanya tidak ada perbedaan dalam hal pertanggungjawaban karena masing-masing peserta hanya bertanggungjawab atas perbuatannya sendiri-sendiri dan tidak bertnaggung jawab atas perbuatan keseluruhan.
Dalam hukum pidana Indonesia turut serta melakukan kejahatan ini diatur dalam Bab 5 Pasal 55 sampai dengan Pasal 62 KUH Pidana. Dalam Pasal 55 antara lain disebutkan :[12]
(1)   Dipidana sebagai pembuat suatu pidana.
Pertama : orang yang melakukan, menyuruh melakukan, atau turut melakukan perbuatan itu;
Kedua   : orang yang dengan pemberian upah, perjanjaian, salah memakai kekuasaan atau martabat, memakai paksaan atau ancaman atau tipu daya, atau denga member kesempatan, iktikad atau keterangan, dengan sengaja menghasut supaya perbuatan itu dilakukan.
(2)   Adapun tentang orang yang tersebut dalam sub 2 itu, yang boleh dipertanggungjawabkan kepadanya hanyalah perbuatan yang sengaja dibujuk olehnya serta akibat perbuatan itu.
2). Turut serta secara tidak langsung (الإشتراك بالتٌسبب), orang yang turut serta disebut peserta tidak langsung atau sebab (الشٌرك المتسبٌب).
           Turut berbuat tidak langsung adalah setiap orang yang menagdakan perjanjian dengan orang lain untuk melakukan suatu perbuatan yang dapat dihukum, menyuruh (menghasut) orang lain atau memberikan bantuan dalam perbuatan tersebut dengan disertai kesenjangan.
         Dari keterangan tersebut kita mengetahui bahwa unsur-unsur turut tidak langsung itu ada tiga macam, yaitu:[13]
a.          adanya perbuatan yang dapat dihukum
b.         adanya niat dari orang yang turut berbuat, agar dengan sikapnya itu perbuatan tersebut dapat terjadi
c.          cara mewujudkan perbuatan tersebut adalah dengan mengadakan persepakatan, menyuruh, atau memberi bantuan.
Cara mewujudkan turut berbuat tidak langsung yaitu dengan cara :
1.         Persepakatan, terjadi karena adanya saling pengertian dan kesamaan kehendak untuk melakukan keadaan jarimah. Jadi, jarimah yang terjadi harus merupakam akibat dari persepakatan itu, dan apabila tidak ada kesepakatan sebelumnya, maka tidak ada turut berbuat jarimah.
Contohnya, jika seseorang bersepakat dengan orang lain untuk mencuri kambing, kemudian pembuat langsung memukul pemilik kambing, atau mencuri kambing bukan milik orang yang dituju, maka disini tidak ada persepakatan atas jarimah yang terjadi. Akan tetapi tidak adanya turut berbuat berarti bahwa persepakatan itu tidak dihukum, sebab persepakatan itu sendiri sudah merupakan perbuatn maksiat.
2.         Suruhan atau hasutan, maksudnya menyuruh atau menghasut orang lain untuk melakukan suatu jarimah dan bujukan itu menjadi pendorong untuk dilakukannya jarimah itu. Baik sebuah bujukan itu berpengaruh atau tidak terhadap adanya jarimah, namun bujukan itu sendiri adalah suatu maksiat yang bisa dijatuhi hukuman.
3.         Memberi bantuan, maksudnya orang yang memberi bantuan kepada orang lain dalam melaksanakan suatu jarimah dianggap sebagai kawan berbuat tidak langsung, meskipun tidak ada persepakatan sebelumnya, seperti mengamat-amati jalan untuk memudahkan pencurian bagi orang lain. Perbedaan antara memberi bantuan dengan pembuat asli ialah kalau pembuat asli (Mubasyir) adalah orang yang memperbuat atau mencoba memperbuat pekerjaan yang dilarang; maka memberi bantuan tidak berbuat atau mencoba berbuat melainkan hanya menolong pembuat asli dengan perbuatan-perbuatan yang tidak ada sangkut pautnya dengan perbuatan-perbuatan yang dilarang ataupun sebagai pelaksanaan terhadap perbuatan tersebut.[14]
Hukuman pelaku tidak langsung:
         Pada dasarnya menurut syariat islam, hukuman-hukuman yang telah ditetapkan jumlahnya dalam jarimah hudud dan qishash hanya dijatuhkan atas pelaku langsung, bukan atas peserta tidak langsung. Dengan demikian, orang yang turut berbuat tidak langsung dalam jarimah hanya dijatuhkan hukuman ta’zir. Namun apabila perbuatan tidak langsung itu dipandang sebagai pembuat langsung, karena pelaku langsung hanya sebagai alat semata-mata yang digerakkan oleh pelaku tidak langsung maka pelaku tidak langsung tersebut bisa dijatuhi hukuman had atau qishash.[15]
         Menurut Imam Malik, penjatuhan hukuman terhadap pelaku tidak langsung, bagaimanapun caranya, dia tetap dianggap sebagai pembuat langsung, apabila ia menyaksikan terjadinya jarimah, dan apabila pembuat asli tidak sanggup melaksanakan, maka dia sendiri (pelaku tidak langsung) yang akan melaksanakan, atau bekerjasama dengan orang lain.[16]
         Namun disini, hukuman pelaku tidak langsung adakalany aberpengaruh atau tidak berpengaruh oleh keadaan diri dan perbuatan pembuatan langsung,seperti halnya dari pendapat Imam Malik yang tersebut di atas. hal ini dilihat dari segi perbuatan, apabila perbuatan pembuat langsung sesuai dengan yang dimaksud oleh pelaku tidak lansgung, dan perbuatan itu berupa jarimah ta’zir, hudud atau qishas, maka masing-masing menerima hukumannya seperti yang dibicarakan di atas.
         Dari segi keadaan pembuat asli, maka apabila hukuman menjadi hapus, diberatkan atau diringankan, maka keadaan ini tidak berpengaruh pada pembuat tidak langsung, karena perbuatan tersebut hanya didasarkan atas keadaan pembuat langsung sendiri, seperti halnya anak-anak dibawah umur dengan orang dewasa, atau antara orang yang bisa memperbuat jarimah (pengulang jarimah) dengan pembuat tidak langsung yang belum pernah melakukan jarimah.[17]
         Dari sini lebih ditekankan bahwa keadaan pembuat tidak langsung hanya berpengaruh pada dirinya sendiri, dan tidak berpengaruh pada hukuman pembuat langsung, seperti kalau pembuat pertama tersebut masih di bawah umur atau gila dan sebagainya.
4.    Pertalian sebab akibat antara turut berbuat dengan jarimah.[18]
Turut berbuat baru dianggap ada apabila benar-benar ada pertalian sebab akibat dengan jarimah yang terjadi. Kalau bentuk turut berbuat berupa persepakatan, maka jarimah yang terjadi harus merupakan akibat persepakatan tersebut begitupun pada  cara-cara berbuat lainnya.
Jika seseorang karena tipu muslihatnya membawa orang lain pergi kepada suatu tempat tertentu, agar di tempat itu orang ketiga dapat membunuhnya. Akan tetapi orang ketiga tersebut tidak muncul di tempat yang telah ditentukan itu, kemudian rang pertama membiarkan orang kedua pulang ke rumahnya, setelah orang ketiga mengetahui apa yang terjadi, ia kemudian pergi ke rumah orang kedua dan di rumahnya ini, orang kedua dibunuh oleh orang ketiga. Dalam contoh ini, orang pertama tidak dianggap sebagai kawan berbuat atau pemberi bantuan, karena tidak ada pertalian sebab-akibat antara perbuatannya dengan jarimah yang terjadi, meskipun dengan kualifikasi lain orang pertama tersebut dapat dijatuhi hukuman.[19]
        Dalam hal ini terdapat bentuk-bentuk pertalian sebab akibat sebagai berikut :[20]
1). Turut berbuat langsung dengan cara tidak berbuat
Bentuk seperti ini merupakan persepakatan dan hasutan atau perbuatan-perbuatan yang nyata (positif). Akan tetapi memberikan bantuan tidak langsung memang pada hakikatnya berupa sikap tidak berbuat, contohnya : orang yang melihat segerombolan penjahat yang membunuh orang lain, kemudian dia (orang yang melihat) diam saja.
Menurut kebanyakan fuqaha, sikap diam semacam ini tidak dianggap atau bahkan sama sekali tidak dianggap sebagai memberikan bantuan kepada pembuat jarimah. Meskipun dianggap bantuan dari segi akhlak (moril) namun tidak bisa dianggap bantuan atau perbuatan tidak langsung kepada jarimah dari segi kepidanaan, sebab pemberian bantuan yang dapat dihukum ialah yang berdasarkan atas saling mengerti antara pemberi bantuan dengan pembuat lansung dan memang jarimah yang terjadi dikehendaki oleh pemberi bantuan.
2). Turut Berbuat ”Sadar-Kemungkinan-Akibat”
Kawan berbuat harus mempertanggung jawabkan pula terhadap jarimah yang diperbuat oleh si pembuat asli, meskipun jarimah itu lebih besar daripada yang dimaksud oleh kawan berbuat tersebut selama jarimah itu dapat terjadi sebagai suatu akibat yang mungkin bisa terjadi dari berbuatnya dan dari pelaksanaan jarimah tersebut.
Jika seseorang menyuruh orang lain untuk memukul orang ketiga dengan pukulan biasa akan tetapi orang lain tersebut memukulnya sedemikian kuatnya sehingga berakibat kematian, maka orang pertama sebagai kawan berbuat, tidak saja bertanggung jawab atas pemukulan tersebut, tetapi juga atas kematian semi-sengaja, karena kematian korban adalah suatu hal yang mungkin bisa terjadi dalam melaksanakan jarimah pemukulan.[21]
5. Pertalian antara perbuatan langsung dengan perbuatan tidak langsung (Mubasyarah dengan sebab).[22]
        Apabila perbuatan langsung berkumpul dengan perbuatan tidak langsung dalam suatu tindak pidana maka pertalian antara keduanya ada tiga kemungkinan :
1). Perbuatan tidak langsung lebih kuat daripada perbuatan langsung.
Hal ini terjadi apabila perbuatan langsung bukan perbuatan yang berlawanan dengan hukum, seperti persaksian palsu yang mengakibatkan adnya adanya putusan hakim untuk menjatuhkan hukuman mati atas diri tersangka. Dalam kasus ini persaksian palsu adalah perbuatan tidak langsung.
2). Perbuatan langsung lebih kuat daripada perbuatan tidak langsung.
Hal ini terjadi apabila perbuatan langsung dapat memeutus daya kerja perbuatan tidak langsung dan perbuatan tidak langsung itu sendiri tidak mengharuskan menimbulkan akibat yang terjadi, seperti orang yang menjatuhkan orang lain ke dalam jurang, kemudian datang orang ketiga yang membunuh orang dalam jurang tersebut.
3). Kedua perbuatan tersebut seimbang.
Hal ini terjadi apabila daya kerjanya sama kuatnya, seperti orang yang memaksa orang lain untuk mekakukan pembunuhan. Dalam soal ini, pemaksa itulah yang menggerakkan pembuat langsung melakuka jarimah, sebab kalau sekiranya tidak ada pemaksa tentunya orang kedua tidak berbuat, tetapi juga kalau sekiranya tidak ada orang kedua, belum tentu paksaan orang pertama akan menimbulkan pembunuhan tersebut.
Akan tetapi dalam penerapan pembedaan-pembedaan tersebut terdapat perbedaan pendapat di kalangan fuqaha, seperti ada orang yang menahan orang lain (orang kedua) agar bisa dibunuh oleh orang ketiga.
  
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berikut empat kategori bentuk kerjasama pidana (jarimah):
a.          Pelaku turut melakukan tindak pidana, yaitu pelaku ikut andil melakukan unsur material tindak pidana bersama orang lain
b.         Pelaku mengadakan kesepakatan dengan orang lain untuk melakukan jarimah.
c.          Pelaku menghasut ( menyuruh orang lain untuk melakukan jarimah).
d.         Pelaku memberi bantuan atau kesepakatan untuk dilakukannya jarimah dengan berbagai cara tanpa turut berbuat
Sedangkan turut berbuat langsung dalam jarimah dibagi menjadi :
1.         Turut serta langsung, sedangkan orang yang turut serta disebut peserta langsung.
2.         Turut serta secara tidak langsung, orang yang turut serta disebut peserta tidak langsung atau sebab.
Sedangkan mengenai hukuman antara turut berbuat langsung dan turut berbuat tidak langsung, dalam hal ini ulama berbeda pendapat. Misalnya saja dalam perbuatan turut berbuat langsung dengan melakukan pembunuhan, dalam hal ini menurut jumhur fuqaha yang terdiri dari Imam Malik, Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’I, Imam Malik At-Tsauri, Imam Ahmad, dan Abu Tsaur, apabila beberapa orang membunuh satu orang, maka mereka harus dibunuh semuanya. Pendapat ini merupakan pendapat Umar R.A. diriwayatkan dari Sayyidina Umar r.a. bahwa beliau pernah mengatakan bahwa :
لَوْ تَمَا لَآ عليه أ هْلَ صَنْعَا ءِ لَقَتَلْتَهُمْ جَمِيْعًا
Andaikan penduduk Shan’an bersepakat membunuhnya, maka saya akan membunuh mereka semuanya.
Sedangkan menurut imam Daud Az-Zahiri, apabila beberapa orang membunuh satu orang, maka yang dihukum bunuh (Qishash) hanyalah seorang saja. Pendapat ini merupakan pendapat Ibn Zubeir, Imam Zuhri dan Imam Jabir.
Lain halnya dengan turut berbuat tidak langsung, hukumannya hanya dijatuhi hukuman ta’zir. Meskipun juga ada fuqaha yang berbeda pendapat menegnai hukuman berbuat tidak langsung, apabila kasus jarimah yang dilakukan dengan turut berbuat tidak langsung tersebut sebagai pelaku langsung  hanya sebagai alat semata-mata yang digerakkan oleh pelaku tidak langsung, maka dijatuhi hukuman had atau qishash.
            Sedangkan apabila perbuatan langsung berkumpul dengan perbuatan tidak langsung dalam suatu tindak pidana maka pertalian antara keduanya ada tiga kemungkinan :
1). Perbuatan tidak langsung lebih kuat daripada perbuatan langsung.
Hal ini terjadi apabila perbuatan langsung bukan perbuatan yang berlawanan dengan hukum, seperti persaksian palsu yang mengakibatkan adnya adanya putusan hakim untuk menjatuhkan hukuman mati atas diri tersangka. Dalam kasus ini persaksian palsu adalah perbuatan tidak langsung.
2). Perbuatan langsung lebih kuat daripada perbuatan tidak langsung.
Hal ini terjadi apabila perbuatan langsung dapat memeutus daya kerja perbuatan tidak langsung dan perbuatan tidak langsung itu sendiri tidak mengharuskan menimbulkan akibat yang terjadi, seperti orang yang menjatuhkan orang lain ke dalam jurang, kemudian datang orang ketiga yang membunuh orang dalam jurang tersebut.
3). Kedua perbuatan tersebut seimbang.
Hal ini terjadi apabila daya kerjanya sama kuatnya, seperti orang yang memaksa orang lain untuk mekakukan pembunuhan.
B.  Penutup
Demikianlah makalah yang dapat saya buat, dan saya sadar dalam penyusunan makalah ini pasti terdapat banyak kesalahan baik dari segi penulisan maupun segi penyajiannya, dan juga sangat minimnya referensi yang saya cantumkan. Untuk itu, kritik dan saran yang konstruktif sangat saya harapkan guna memperbaiki makalah-makalah saya selanjutnya. Dan semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua. Amiin.

DAFTAR PUSTAKA
Djazuli, H. A., Fiqh Jinayat, Jakarta : Rja Grafindo Persada, 1996.
Doi, Abdur Rahman I, Tindak Pidana Dalam Pidana Islam, Jakarta : Rineka Cipta, 1992.
Haliman, Hukum Pidana Sjari’at Islam Menurut Ajaran Ahlus Sunnah, Jakarta : Bulan Bintang, 1971.
Hanafi,Ahmad, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, Jakarta : Bulan Bintang, 1967.
Jamhari Makruf dan Lindsey, Hukum keluarga, Pidana dan Bisnis, (Kajian Perundang-undangan Indonesia, Fikih dan Hukum Internasional), Jakarta : Kencana, cet. 1 2013.
Karni, Ringkasan Tentang Hukum Pidana,S Yogyakarta : 2001.
Moeljanto, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Jakarta : Bumi Aksara, 2009.
Muslich, H. Ahmad Wardi, Hukum Pidana Islam, Jakarta : Sinar Grafika, 2005.
_____________________, Pengantar Asas Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah), Jakarta : Sinar Grafika, 2006.
Prodjodikoro, Wirjono, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia, Jakarta-Bandung : PT Eroso, 1981.
Sabiq, Sayid, Fiqh As-Sunnah, Beirut : Dar AL-Fikr, 1980.


[1] Haliman, Hukum Pidana Sjari’at Islam Menurut Ajaran Ahlus Sunnah, Jakarta : Bulan Bintang, 1971, hal. 225
[1] Djazuli, H. A., Fiqh Jinayat, Jakarta : Rja Grafindo Persada, 1996, hal. 176
[1] Haliman, Hukum Pidana Sjari’at Islam Menurut Ajaran Ahlus Sunnah, Jakarta : Bulan Bintang, 1971, hal. 226
[1] Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: Bulan Bintang. 2005, hal.137-138
[1] Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: Bulan Bintang. 2005, hal. 139
[1] Muslich, H. Ahmad Wardi, Hukum Pidana Islam, Jakarta : Sinar Grafika, 2005, hal. 231

[1] Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: Bulan Bintang. 2005, hal. 95
[1] Sayid Sabiq, Fiqh As-Sunnah, Beirut : Dar AL-Fikr, 1980, hal. 70
[1] H. Ahmad Wardi Muslich, Pengantar Asas Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah), Jakarta : Sinar Grafika, 2006, hal. 67-68
[1] Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, Jakarta : Bulan Bintang, 1967, hal.139-141
[1] Ahmad Wardi Muslich, Op., Cit, hal. 68-69
[1] Moeljanto, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Jakarta : Bumi Aksara, 2009, hal. 25
[1] Ahmad Hanafi, Op., Cit, hal.144
[1] Doi, Abdur Rahman I, Tindak Pidana Dalam Pidana Islam, Jakarta : Rineka Cipta, 1992, hal. 180
[1] Karni, Ringkasan Tentang Hukum Pidana, Yogyakarta : 2001, hal. 67
[1] Karni, Ringkasan Tentag Hukum Pidana, Yogyakarta : 2001., hal. 128
[1] Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, Jakarta : Bulan Bintang, 1967, hal. 142
[1] Ahmad Hanafi, Op., Cit, hal. 149
[1] H. Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah), Jakarta : Sinar Grafika, 2006, hal. 58
[1] Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, Jakarta : Bulan Bintang, 1967, hal. 150-151
                [1] Jamhari Makruf dan Lindsey, Hukum keluarga, Pidana dan Bisnis, (Kajian Perundang-undangan Indonesia, Fikih dan Hukum Internasional), Jakarta : Kencana, cet. 1 2013, hal. 122
[1] Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia, Jakarta-Bandung : PT Eroso, 1981, hal. 95



[1] Haliman, Hukum Pidana Sjari’at Islam Menurut Ajaran Ahlus Sunnah, Jakarta : Bulan Bintang, 1971, hal. 225
[2] Djazuli, H. A., Fiqh Jinayat, Jakarta : Rja Grafindo Persada, 1996, hal. 176
[3] Haliman, Hukum Pidana Sjari’at Islam Menurut Ajaran Ahlus Sunnah, Jakarta : Bulan Bintang, 1971, hal. 226
[4] Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: Bulan Bintang. 2005, hal.137-138
[5] Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: Bulan Bintang. 2005, hal. 139
[6] Muslich, H. Ahmad Wardi, Hukum Pidana Islam, Jakarta : Sinar Grafika, 2005, hal. 231

[7] Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: Bulan Bintang. 2005, hal. 95
[8] Sayid Sabiq, Fiqh As-Sunnah, Beirut : Dar AL-Fikr, 1980, hal. 70
[9] H. Ahmad Wardi Muslich, Pengantar Asas Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah), Jakarta : Sinar Grafika, 2006, hal. 67-68
[10] Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, Jakarta : Bulan Bintang, 1967, hal.139-141
[11] Ahmad Wardi Muslich, Op., Cit, hal. 68-69
[12] Moeljanto, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Jakarta : Bumi Aksara, 2009, hal. 25
[13] Ahmad Hanafi, Op., Cit, hal.144
[14] Doi, Abdur Rahman I, Tindak Pidana Dalam Pidana Islam, Jakarta : Rineka Cipta, 1992, hal. 180
[15] Karni, Ringkasan Tentang Hukum Pidana, Yogyakarta : 2001, hal. 67
[16] Karni, Ringkasan Tentag Hukum Pidana, Yogyakarta : 2001., hal. 128
[17] Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, Jakarta : Bulan Bintang, 1967, hal. 142
[18] Ahmad Hanafi, Op., Cit, hal. 149
[19] H. Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah), Jakarta : Sinar Grafika, 2006, hal. 58
[20] Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, Jakarta : Bulan Bintang, 1967, hal. 150-151
                [21] Jamhari Makruf dan Lindsey, Hukum keluarga, Pidana dan Bisnis, (Kajian Perundang-undangan Indonesia, Fikih dan Hukum Internasional), Jakarta : Kencana, cet. 1 2013, hal. 122
[22] Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia, Jakarta-Bandung : PT Eroso, 1981, hal. 95